Kamis, 29 Januari 2015

Seberapa pantaskah kita?

Bicara tentang remunerasi aku malah teringat nasehat seorang pak de sebelum aku menikah. Bahwa menikah itu jangan hanya bayangkan enaknya saja, karena enaknya itu bisa saja dirasakan tanpa menikah. Tapi yang penting tanggung jawab. Pernikahan itu rangkaian tanggung jawab. Nasehat itu masih teringat, karena menurutku saat itu kalimat inilah yang menyadarkanku. Bahwa selalu ada konsekuensi kewajiban selain dari hak yang akan kita dapatkan.

Demikian halnya, remunerasi. Ini bukan perkara tambahan atas hak kita saja, melainkan juga tambahan kewajiban. Yang meresahkan adalah bayangan bahwa kewajiban yang akan aku emban itu di atas kualifikasi sebagai pegawai. Ada kekhawatiran justru potensi kedholiman yang akan aku perbuat. Karena menerima yang tak seharusnya pantas menjadi hakku.

Mungkin seperti kata Mario Teguh, bahwa kita harus memantaskan diri untuk menjadi seorang yang menerima gaji yang lebih besar.

Entah, seberapa pantaskah kita?

Teman kita adalah....

Teman memang terasa saat ia bisa menjadi tempat bersandar, tempat curahan hati, atau saat ia mendukung apa yang kita lakukan. Terkadang kita merasa tak nyaman ketika seorang teman justru mengkritik kita, menegur kesalahan kita, meluruskan kita saat kita bengkok. Padahal sejatinya mengkritik, menegur, dan meluruskan itu yang lebih kita butuhkan dari seorang teman.

Mungkin karena teman itu cermin. Tempat kita mampu melihat diri kita di sisi yang tak terlihat oleh kita. Kita butuh teman sebagai mata kita yang lain, sebagai telinga kita yang lain. Ia menjadi seorang yang segera memegang lengan kita erat saat kita nyaris tergelincir ke dalam jurang. Kita memang butuh teman.

Saat tak ada teman mungkin sudah lama kita tersesat. Atau terpeleset ke dalam jurang dan tak bisa bangkit lagi. Walaupun terkadang ia hanya mengingatkan apa yang pernah terucap oleh kita namun kita lupakan. Terkadang hanya mendelik sampaikan sinyal ketidaksetujuan. Terkadang juga hanya sampaikan ketidaknyamanannya atas apa yang kita lakukan. Dan ternyata semua itu menyelamatkan kita.

Teman adalah pengkritik kita, adalah cermin kita, adalah penyelamat kita.

Terima kasih teman.

Minggu, 25 Januari 2015

Reputasi?

Reputasi
Citra
Nama baik.....

Adakah kemasan kita mendustai isinya?

Harga diri
Menghargai diri
Menghargai diri terlalu tinggi

Pantaskah kita mudah tersinggung dan sakit hati..?

Karakter
Niat baik
Nilai sejati diri

Kelam atau mempesonakah kita jika tanpa polesan?



Minggu, 11 Januari 2015

Saat 25 tahunku, dulu....

Seorang bertanya padaku seperti apa diriku di umur 25 tahun? Lalu yang teringat adalah masa-masa sulit bertahan dalam idealisme sedang kondisi kerja tidak mendukung.

Apa yang membuatku tetap bertahan pada waktu itu?

1. Ajaran keluarga untuk tidak memandang hidup dengan ukuran-ukuran materi. Sejak kecil kami tak boleh merasa miskin dalam kondisi apapun.

2. Ajaran Bapak "Jangan sampai ada hak orang lain yang terambil oleh kita, sebaliknya jika ada hak kita di tangan orang lain maka segera ikhlaskan." Pernah suatu hari, saat aku masih SMP dan ikut Bapak ke Jakarta, demi mengembalikan kelebihan uang kembalian di sebuah warung, kami harus berjalan kaki jauh mencari warung tersebut.

3. Buku-buku sosialis yang dulu gemar aku baca membuat aku berjarak dengan dunia gemerlap yang menurutku waktu itu adalah produk kapitalisme. Pernah sangat risih saat berjalan di trotoar di depan pertokoan, dan memilih berjalan memutar mencari gang-gang sempit.

4. Sejak kecil tak pernah bercita cita jadi orang kaya. Karena kaya itu hanya akibat dari sebab kerja. Jika karena kerja lalu kaya ya terima saja, Alhamdulillah.

5. Di kantor bertemu teman-teman aktifis dakwah birokrasi yang sangat menjaga diri dari uang-uang kotor itu.

Mungkin karena hal-hal tersebut di atas, aku terjaga untuk bertahan di jaman itu.

Wallohu a'lam.

Kamis, 08 Januari 2015

BIASA VS LUAR BIASA

Biasa itu jauh lebih hebat dibanding luar biasa. Karena luar biasa itu hanya sesaat, sementara biasa itu konsisten, rutin dan tentu butuh daya tahan yang lebih tinggi dari sekedar yang luar biasa.

Percakapan dengan seorang teman yang mengaku suaminya itu lelaki biasa yang nampak tak romantis, tidak suka memberi hadiah saat ulang tahun. Kata dia suaminya hanya biasa menyuapinya saat ia makan. Walau hanya tiga atau empat sendok pasti ia luangkan untuk menyuapi istrinya saat makan bersama. Aku sampaikan itu berarti luar biasa, tapi sang istri menyangkal bahwa itu bukan luar biasa, itu biasa menurut dia. Karena memang hal luar biasa itu memang akan biasa saat dibiasakan.

Jadi benarkan, menjadi biasa itu lebih hebat dibanding sekedar luar biasa.

Benarlah memang, "Sebaik baik amalan adalah yang terus menerus meski sedikit."

Demikianlah.

Rabu, 07 Januari 2015

KITA DIBUAT BERHASIL

Acara khatmul Quran - mengkhatamkan al Quran dalam satu hari, diadakan di masjid kantor KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan dalam rangka Tasyakuran Tercapainya Target kantor, semangatnya adalah menambahkan satu kata dalam kalimat berita tentang sebuah kesuksesan. Demikian yang disampaikan bapak Kepala Kantor saat memberikan sambutan. Tambahan kata itu adalah: "dibuat". Kalimat awalnya "kita berhasil" menjadi "kita dibuat berhasil". Ialah bagaimana kita selalu melibatkan Dia dalam setiap urusan kita.

Lalu mengapa acaranya khatmul Quran? Banyak alasan namun paling tidak ini cara kita sebagai hamba mendekatiNya, dengan berakrab akrab dengan firmanNya.

Kami mengundang enam hafidz Quran, mereka melafalkan hafalan Qurannya dari Al Fatihah hingga surat An Nas. Kami bersama menyimak. Susanannya indah. Kami menikmati lantunan ayat-ayatNya dipimpin oleh hafidz yang menurutku menakjubkan. Saat melantunkannya mereka terlihat sangat menikmati. Terkadang mereka ekspresikan dengan gerakan tangan atau menggoyang goyangkan kepala.

Kami pikir kami akan kelelahan duduk berjam-jam menyimak mereka, ternyata tidak. Quran memang energi. Semakin lama kami semakin menikmati. Indahnya suasananya.

Kami mulai pukul 08.30 pagi, dan selesai pukul 00.04. Tidaklah waktu yang sebentar. Lelah memang namun kami merasa lebih berenergi. Semoga ini bisa menjadi energi kami di sepanjang tahun ini. Energi kami untuk menjadi hamba yang taat, menjadi khalifah yang amanah di bumi ini.

Aamiin.

Pengakuan atas kesalahan

Tadi setelah ashar secara rutin ada pembacaan hadits Riyadhus Shalihin. Hari ini sampai pada hadits tentang kisah Kaab bin Malik. Sahabat yang menyengaja tidak berangkat dalam ekspedisi perang Tabuk. Sahabat yang tidak mau mencari cari alasan namun dengan lugas mengakui kesalahannya. Dia dihukum dikucilkan selama 50 hari. Hukuman yang berat, namun ia terima. Kisah ini bahkan diabadikan dalam Al Quran.

Pelajarannya adalah tentang kejujuran. Keberanian untuk melakukan pengakuan. Dan kesiapan hati menjalani hukuman karena didasari kesadaran akan kesalahan yang telah dilakukan. Hasilnya tobat yang diterima tidak semata mata meringankan hati melainkan juga menjadi energi untuk perbaikan dan pengembangan diri terus menerus.

Demikianlah energi pengakuan, energi keterusterangan. Teringat nasehat ibu dulu, jangan lari dari akibat yang sebabnya telah kita lakukan.