Di Hari Oeang, aku ingin menulis tentang uang. Betapa uang telah mengambil peran penting dalam kehidupan manusia. Awalnya hanya alat tukar untuk berinteraksi dalam menyelesaikan kebutuhannya. Namun perlahan, menjadi lebih dari sekedar media. Uang bisa menjadi motivasi, menjadi alasan seorang mau berlelah-lelah, bahkan pertaruhkan nyawa. Manusia terkadang lupa, uang hanya salah satu alat untuk penyelesaian kebutuhan. Bukan bagian dari kebutuhan kita. Kita butuh makan, untuk mendapatkan makan kita harus beli, untuk beli kita perlu uang. Entahlah.
Satu hal yang sering tidak berhasil aku pahami adalah perasaan kecewa dan sedih saat kita kehilangan uang, terkadang kita merasa sangat terpukul. Seakan musibah besar menimpa. Padahal bisa jadi, tanpa uang kebutuhan kita tetap dapat terpenuhi. Protes kita mungkin begini: bisa jadi kan? Bisa jadi sebaliknya. Hehe... padahal dengan uang pun tak ada jaminan kebutuhan itu terpenuhi. Sama saja.
Bukankah kita bisa membeli makanan, tapi tak bisa membeli rasa kenyang, bisa membeli tempat tidur tapi tak bisa membeli nyenyaknya tidur.
Ada fragmen yang juga belum berhasil aku pahami, saat seorang peserta kuis, pada satu babak dia menang dan mendapat hadiah sekian rupiah, uang itu belum diberikan, hanya disebutkan. Lalu pembawa acara menantang sang peserta, mau lanjut ke babak berikutnya? Tapi hadiah di babak pertama dipertaruhkan. Kadang peserta ragu, terkadang juga yakin untuk maju. Pernah peserta nekat lanjut dengan pertaruhkan seluruh hadiah, ternyata kalah. Ia sangat menyesal. Menurutku ini aneh. Hadiah belum diterima, tapi peserta menyesal saat tak jadi diterima. Padahal saat datang ke kuis dia tak bawa apa-apa, jadi wajar saja jika pulang tak bawa apa apa. Atau jika akhirnya dapat tapi hanya sebagian, karena sebagian lain hilang saat dipertaruhkan mestinya dia bahagia, namun terkadang tetap menyesal karena tak dapat lebih banyak.
Mungkin ini memang tentang rasa ingin. Keinginan terkadang jadi sumber penderitaan (kata mas Iwan Fals). Bisa jadi, derita itu karena kita menarik terlalu cepat sesuatu itu menjadi milik kita, sehingga saat hilang kita terluka. Bahkan sesekali kita terjebak pada kehilangan atas sesuatu yang tidak kita miliki.
Demikian halnya uang, sesuatu yang ada hanya karena saat transaksi pertukaran barang dan jasa kita butuh media. Itu saja. Karenanya tak pantaslah uang menjajah terlalu dalam, hingga menguasai rasa bahagia kita.
Entahlah.
adalah catatan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berusaha untuk selalu bahagia... mencoba tanggalkan beban ambisi jabatan dan godaan duniawi yang "cemen"... hingga di setiap waktu selalu saja pantas untuk tersenyum.
Rabu, 29 Oktober 2014
Rabu, 22 Oktober 2014
Sekapur Barus.
Tak mudah mencatat perbincangan di meja kopi pagi ini. Tema perbincangan melompat-lompat ke sana ke mari. Untuk menangkapnya aku harus ikut melompat-lompat. Dari rongga kepalaku ke rongga kepala teman-teman, terbang ke langit, lalu menclok di atap kantor, kemudian meluncur bergulingan di atap-atap mobil yang parkir di halaman. Akhirnya mencebur ke cangkir kopi. Berenang di sana.
Memikirkan seseorang teman sambil berkendara sepeda motor saat berangkat kantor, adalah membawa ia dalam alam kita. Mengajak ia berdiri di speedometer, mejadi boneka kecil. Lalu duduk di sana, terkadang berjalan dari titik angka 0 ke angka 110, sesekali menarik jarum jam dalam speedometer itu melampaui kecepatan yang sebenarnya. Ahai.... juga seperti saat dua butir kapur barus itu, masuk ke dalam tanki bensin, untuk meningkatkan oktan. Entah benar atau tidak. Katanya bisa meningkatkan kecepatan motor kita. (Atau merusak speedometer kita, hehe).
Jadi teringat Dayang Sumbi yang halangi Sangkuriang saat penuhi permintaannya sebagai syarat memperistrinya... dengan memukul lesung, mengundang fajar lebih cepat datang. Apakah matahari menjadi lebih cepat, atau hanya unggas sebagai tanda-tanda pagi itu yang lebih awal bernyanyi? Gerakan Matahari itu serupa kecepatan motor kita, dan unggas seolah speedometer itu. Kita sering terjebak pada kerancuan berfikir antara yang diukur dan dasar ukuran. Entahlah.
Memang tak mudah, mencatat tema percakapan yang berlarian tanpa rima dan tujuan.
**bincang di warung Lala
Memikirkan seseorang teman sambil berkendara sepeda motor saat berangkat kantor, adalah membawa ia dalam alam kita. Mengajak ia berdiri di speedometer, mejadi boneka kecil. Lalu duduk di sana, terkadang berjalan dari titik angka 0 ke angka 110, sesekali menarik jarum jam dalam speedometer itu melampaui kecepatan yang sebenarnya. Ahai.... juga seperti saat dua butir kapur barus itu, masuk ke dalam tanki bensin, untuk meningkatkan oktan. Entah benar atau tidak. Katanya bisa meningkatkan kecepatan motor kita. (Atau merusak speedometer kita, hehe).
Jadi teringat Dayang Sumbi yang halangi Sangkuriang saat penuhi permintaannya sebagai syarat memperistrinya... dengan memukul lesung, mengundang fajar lebih cepat datang. Apakah matahari menjadi lebih cepat, atau hanya unggas sebagai tanda-tanda pagi itu yang lebih awal bernyanyi? Gerakan Matahari itu serupa kecepatan motor kita, dan unggas seolah speedometer itu. Kita sering terjebak pada kerancuan berfikir antara yang diukur dan dasar ukuran. Entahlah.
Memang tak mudah, mencatat tema percakapan yang berlarian tanpa rima dan tujuan.
**bincang di warung Lala
Kamis, 16 Oktober 2014
MEMILIH UNTUK BERARTI
Film pendek yang mengambil latar kehidupan tiga
pegawai negeri sipil ini memang sederhana, tapi cukup menarik untuk dilirik. Alur cerita mengalir dengan cepat seperti
memaksa kita untuk menunda mengedipkan mata sejenak.
Dian yang kesehariannya harus melewati fasilitas jalan
yang tidak nyaman dan penuh tantangan, ditengah kemajuan pembangunan (katanya).
Maman yang harus menggelengkan kepala saat melihat seorang anak yang seharusnya
menikmati bangku sekolah, tetapi harus
mengamen demi kelanjutan hidupnya. Serta Dika yang melihat kenyataan bahwa
sejumlah pemuda di sekitar lingkungannya menganggur karena tidak tersedianya
lapangan kerja bagi mereka. Tiga kisah ini menjadi pecahan yang menghantarkan
kita pada kejadian-kejadian kecil yang nyaris tidak berhubungan satu sama lain
dalam waktu enam menit.
Dalam alur yang singkat, ketiga tokoh ini digiring
kepada kondisi yang berat bagi mereka. Tawaran yang menggiurkan dan dengan
sedikit menutup telinga hati nurani, mereka bertiga mungkin akan sampai pada
kenyamanan diri sendiri. Tapi tunggu dulu, apakah itu pilihan mereka? Tentu
tidak, dengan harapan bahwa ada perubahan ke arah yang lebih baik dari setiap
pilihan yang mereka ambil, Dian, Maman dan Dika dengan tegas menolak setiap
tawaran tersebut.
Film Sebelum Habis ini ingin menarik kita sesaat, kembali kepada sejumlah kenyataan yang terpapar di depan mata. Dan tanpa kesan menghakimi, film ini mencoba memperlihatkan bahwa setiap tindakan kecil yang kita lakukan dapat berdampak besar pada sisi kehidupan lain. Dian, Maman maupun Dika memilih untuk berjarak pada korupsi karena dengan cara itu mereka memberi harap pada negeri. Bagaimana dengan pilihan Anda?
Resensi Film "Sebelum Habis" oleh Boy Valentin Purba.
Sebelum Habis (narasi untuk Film Hari Anti Korupsi 2014 - KPP Pratama Mampang Prapatan)
seolah detik-detik yang berguguran
tanpa pernah kita bisa memungutinya kembali
banyak hal yang tidak kita harapkan, namun ada di depan
mata
Terkadang harus berani mengetuknya,
Terkadang harus rela menunggu.
Pada saatnya arus hidup itu
akan membentur karang…
dan kita harus memilih
Jika tak pedulikan bisikan hati,
pilihan itu akan tertulis dalam dinding sejarah kita
catatan yang melegakan hati
Karena kata “tidak” bisa mengubah arah kenyataan
Kenyataan sebagai bangsa yang bangga
Bahwa jujur masih bisa hidup subur….
Di negeri ini.
Langganan:
Postingan (Atom)