Pertanyaan di atas kembali datang; dan anehnya justru muncul dalam mimpiku. Pertanyaan pertama, dari pihak yang merasa bahwa fokus pada bahagia bisa mengganggu "prosedur". Karena terlanjur menjadi kecenderungan dalam otak kita, bahwa seorang yang "hanya" ingin bahagia itu, akan mengabaikan "prosedur"/ "aturan". Dalam mimpi itu, aku menjawab begini : "Justru karena ingin bahagia, maka kita membutuhkan aturan. Seorang pimpinan yang mau menegur anak buahnya, tanpa dalih aturan, maka bisa jadi si anak buah merasa teguran pimpinan itu sebagai bentuk ketidaksukaan dia pada si bawahan. Jadi ingat, bagaimana cara "the nany" [acara TV; tentang solusi masalah-masalah keluarga] untuk menyelesaikan masalah anak nakal.... dia mengumpulkan seluruh anggota keluarga, anak-anak, bapak dan ibunya. Mereka menyepakati satu aturan, juga hukumannya [walau sekedar beberapa menit duduk di kursi hukuman]. Lalu kesepakatan itu ditulis, dan ditempel di dinding. Ketika ada anggota keluarga yang melanggar, hukuman ditegakkan. Terkesan biasa saja, padahal ini penting. Kebahagiaan masing-masing anggota keluarga menjadi terjaga, karena si penerima hukuman tidak merasa sedang dibenci, namun sekedar menjalankan kesepakatan. Bahkan bisa menjadi bukti perhatian dan kasih sayang sang pemberi hukuman. Demikian halnya dengan aturan di kantor kita. Seorang bawahan yang dihukum karena melanggar satu aturan, tetap merasa mendapatkan perhatian dari sang atasan, karena dia paham pemberian hukuman ini bukan yang diinginkan atasan. Justru menjadi perhatian lebih dari sang atasan kepada bawahan saat memberikan hukuman tersebut. Terbangunlah rasa saling sayang. hmm... rasanya terbayang bagaimana menjadi atasan yang bahagia, juga anak buah yang bahagia dalam suasana kerja yang tetap sesuai aturan namun selalu bahagia."
Pertanyaan berikutnya, dari para kepala kantor, yang merasa jika tujuan "semata-mata" bahagia, bagaimana dengan tujuan target penerimaan [pajak misalnya] -yang memang telah menjadi beban bersama, dan mestinya menjadi tujuan kita bersama-; mereka khawatir dengan fokus pada "sekedar" bahagia, maka tujuan kantor tersebut terabaikan.... dan itu tentu akan mengganggu "kebahagiaan" sang kepala kantor.
Lalu dalam mimpiku, aku menjelaskan bahwa... "bahagia" adalah tujuan utama. Namun memiliki beberapa washilah atau batu loncatan; dan salah satunya adalah target kantor. Menjadi tugas sang pemimpin untuk menjadikan tercapainya target itu sebagai pintu kebahagiaan bersama. Ini bisa dilakukan dalam setiap interaksi pimpinan dengan anak buah, dalam sarapan bersama misalnya, atau saat rapat-rapat pembinaan. Disampaikan betapa tercapainya target ini adalah hal "indah", adalah mimpi kita bersama. Dan masing-masing penghuni kantor semestinya meletakkan pencapaian target itu sebagai satu poin kebahagiaan kita di kantor. Hmmmm... terbayang, betapa semangat bersama itu ada dalam setiap nafas kita dalam melaksanakan tugas. Rasanya ini justru bisa menjadi motivasi yang luar biasa, dan tercapainya target itu menjadi semakin dekat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar